SYEKH SITI JENAR BAPAK ILMU HENING JAWA


 

Bersamaan dengan berkembangnya masa, kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku yang tidak disangka-sangka. Dikemudian hari pengetahuan pasamaden tadi muncul diterima oleh kalangan orang Islam, sebab yakin kalau pengetahuan pasamaden tersebut memang menjadi mustikanya keinginan dan cita-cita yang dapat mendatangkan keselamatan, kemuliaan, ketenteraman dan hal-hal semacamnya. Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga menjadi pembimbing agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum didalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal dari kata daiwan yang disebut diatas. Kemudian juga menjadi bagian dari sarana manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya, kemudian muncul istilah shalat daim ( shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan bahasa Sansekerta ). Adapun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk perhatian untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah meresapi agama Islam. Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua perkara. Pertama, shalat lima waktu, yang disebut shalat Syariat, maksudnya adalah panembah lahir. Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin, maksudnya adalah menekadkan ( meng -I’tikadkan) manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal ( dua yang menyatu [Kawula-Gusti, Ingsun-Gusti] ).

Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai pokok pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak, sholat lima waktu dan syara agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya lelaku shalat daim saja. Maka orang jawa yang semula memeluk Islam, apalagi yang belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar, karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.
Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan pasamaden, sebagai teman diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang juga berpangkat wali. Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya, yang semula bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga, termasuk anggota walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti Jenar, lalu berguru kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Pagelen (Purworejo). Kemudian ajaran tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga sahabat-sahabat Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama semakin berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama para wali yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara’. Seandainya gerakan itu dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.

Pembantaian Terhadap Penganut Ajaran Syekh Siti Jenar

Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak. Demikian juga Pangeran Panggung tidak ketinggalan, dipidana dimasukan kedalam bara api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai peringatan agar msyarakat merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau membuang ajaran Syekh Siti Jenar. Diceritakan Pangeran Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan Panggung, hanya kamitenggengen ( terdiam) seperti tugu. Sesudah sementara waktu, Pangeran Panggung sudah jauh, Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah. Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap dibantai. Dilakukan pengejaran besar-besaran terhadap semua orang yang dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikut yang tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari selamat.
Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan eprguruan Syekh siti Jenar tentang pengetahuan pasamaden, tetapi kemudian dibalut dengan pengajaran syariat Islam, agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang menjadi alat Negara.

Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )

Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya. Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat) naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian para Kiai dan Guru tadi melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga para guru dan kiai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan, Sedang nama Kiai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.

2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:

a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.

b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.

c.Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.

d.Pandai dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta benda yang gemerlapan.

e. Susila anor-raga, selalu memelihara tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa yang dilihat ) dan pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang terkena.

Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu cipta mengheningkan teropong penglihatan ( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas. Oleh karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.

Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )

Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya. Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat) naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian para Kiai dan Guru tadi melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga para guru dan kiai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan, Sedang nama Kiai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.

2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:

a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.

b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.

c. Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.

d. Pandai dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta benda yang gemerlapan.

e. Susila anor-raga, selalu memelihara tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa yang dilihat ) dan pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang terkena.

Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu cipta mengheningkan teropong penglihatan ( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas. Oleh karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.

Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.

Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).

Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.

Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.

Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)

Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.

75 thoughts on “SYEKH SITI JENAR BAPAK ILMU HENING JAWA

  1. Kempo

    Bgi yg menginginkan bljar hal tsb,sya brsaran spya ada dasar trlbh dhulu&pngrtian scra falsafahnya?
    Al : laku prihaten ( puasa klahiran& ngropel) hal tsb dlkkukn spya 7energi pd tubuh kta lbh trtata/ tdk nylelek?
    Minim dlkukkn 7 x ?
    : kl sdh trtata,brulh msuk kpd hal ksucian (tata brwudhu,mandi,sholat Daim) > pljaran “sabdo mandi/ tulisan tnpo papan”
    Mf,sya blm bsa open smua,krna mengandung karma trsndiri bila brwedar ilmu sabdo mandi tnpa sama” laku& akn mmbhayakn sya sndri….nwun
    Mf, sya hnya br bcra dasar?ilmu dasar tsb bsa masuk kpd sgla ilmu yg mu dplajari,trmsuk ” inti SSJ, kjadogan,duniawi,psucian,pnywunan/ cipta”

  2. jack pranoto

    Al Hallaj dan Siti Jenar tau dan sadar akan kesombongannya, sehingga mereka juga sadar dan pasrah untuk hukuman yg akan dijatuhkan kepada mereka. Pembelajaran kepada diri kita untuk melihat pengalaman para Wali dan Awlia, bagi siapa yg nyeleneh akan di hukum. Kalau kita lihat dasar kemampuan dan ketinggian ilmu mereka apalah arti seutas tali dan sebilah pedang ? tetapi mari sama – sama kita ketahui dan pelajari atau kita renungkan tentang Qodrat dan IradhatNya.

  3. jack pranoto

    Kita mampu untuk memperjelas semuanya, semua dan seluruh aspek kehidupan ada dalam diri kita sendiri sehingga kita mampu menguasai keadaan. Kita harus mampu mengembangkan daya talar kita dengan diawalinya kesadaran yg tinggi setiap kita melakukan aktifitas dan akhirnya kita menemukan yg artinya demokrasi yg sesungguhnya. Sulit untuk mempraktekkanya dan sulit juga untuk mengawalinya tetapi hanya kita juga yg akan merasakan hikmahnya. Melangkah di awali dengan kesadaran sehingga kita mampu dan selalu ingat untuk ber Istigfar, akhirnya kita akan mengerti makna dari sebuah kata yang sederhana yaitu Istigfar.

  4. Pingback: BIOGRAFI SEJARAH HIDUP KI DJAKA TOLOS. 11 « putraramasejati

  5. Senopati

    Mas Petir Saloka.

    I agreed 100% with you. what you said on May 6, 2010, that Jenar passed away on his courrage and ultimately gone wih his body.
    That is the most purposes of us in rushing get it’s done for our own’s.
    It is easy to say but difficult to do for us.
    Mr. Giri was school-mate of Jenar to do in Iraq till graduated there. They leaved Indonesia both in one board.
    Please correct me, if this statement is wrong.

  6. Senopati

    Memang benar seharusnya ajaran atau himbauan, seharusnya dan sebaiknya di-ikuti dan dijalankan.
    Sekali lagi kalau sudah ahli, dari mana bertindak atau mengamalkan, itu syah-2 saja. Orang sudah ahli bakal tahu hakuman apa yang akan diterima, apabila menyimpang dari hukum yang ada.
    Dan bila tidak ikut, itu urusan ybs dengan Gusti Allah-nya, bukan urusan kita untuk menghukum. Memangnya ada mandat dari siapa, kita berani menghukum.
    Maaf ya, kalau berseberangan.

  7. Kawulo

    memang banar adanya bahwa kanjeng Syeh Siti Jenar ; Kanjeng Sunan Bonang dan Para Wali Lainnya kalau di ibaratkan adalah lulusan Phd dan tidak bisa dibandingkan dengan Kami ini mungkin TK saja baru masuk.
    Lha Kalu Kanjeng Nabi Muhammad saw. itu bisa diibaratkan Dosennya / Gurunya/Kyainya para Profesor yang mengajar mahasiswa.
    Tentunya sang murid/ mahasiswanya, lulusannya, alumninya akan melakukan dan melaksanakan ssi ajaran gurunya.
    Maka sholat 5 waktu laksanakanlah sahabatku karena hal itu dilaksanakan dosennya para profesor termasuk guru-guru-gurunya para wali, dzikir /eling marang gusti Alloh juga lalukanlah sebanyak-banyakya di setiap waktu dan kesempatan.
    Semoga bermanfaat

  8. Senopati

    Kalau boleh diluruskan, sesuai ajaran Jenar dan sekaligus mengutip ajaran Bonang, sholat daim itu sholat wusta. (Kalau daim, itu terus menerus) Maka sholat daim adalah langgeng, yang artinya monoton tanpa ganti-2.
    Sholat ini intinya hampir sama dengan pasamaden. Maka ada benarnya, nantinya akan diterima oleh kalangan umum. Apabila manyarakat sdh banyak yang lulus Universitas
    Perlu diketahui Jenar itu juga alumni Iraq, sudah menyandang Ph. D lagi. Maksudnya penemu MKG. Maka dari itu bagi mayarakat yang lulusan SD menaggapi apa yang di-amalkan Jenar adalah “kemoncolen” orang yang sombong. Padahal itulah adanya.
    Kalau masyarakat sudah banyak yang lulus Univertitas (bukan SD lagi), maka lakunya Jenar, bukan perilaku yang aneh.
    Jadi tidak mungkin lulusan universitas, membakukan dan deprok di-ajaran sekolah dasar.
    Semoga bisa dimengerti dan berguna.

  9. Kawulo

    Kalau sepengetahuan saya kata ” daim ” itu berasal dari bahasa Al quranul kariim kurang lebih arti dalam bahasa jawa “langgeng” trus menerus.
    Wedaripun / pengertiannya kalau dihubungkan dengan ajaran sholat 5 wektu adalah kurang lebih begini SHOLAT DAIM adalah mengerjakan sholat 5 waktu ; subuh, dhuhur, Ashar, Maghrib dan isak tidak pernah ditinggalkan sampai akhir hayat; itu adalah menunjukkan kepatuhan seorang kawulo dari gustinya / sesembahannya yaitu Alloh swt yang telah dicontohkan oleh utusannya yaitu Nabi Muhammad saw.
    Semoga bermanfaat

  10. Senopati

    Manunggaling kawulo lan Gusti, adalah ajaran yang disampaikan Syech Lemahbang. Itu benar, asal dipakai sendiri dan tidak pernah menyuruh orang lain meninggikan kita. Saya ya saya dan anda juga punya Tuhan sendiri. Kalau orang lain meninggikan kita berarti seperti jaman Fir’aun.
    Penemuan Al Halajj, itu betul sebagai dasar MKG. tetapi pakailah untuk diri sendiri jangan dipaksakan ke orang lain. Toh dzat-Nya sama tidak berbeda, maka dari itu kasih sayang adalah amalan selanjutnya sebagai lanjutan dari amalan ilmu ini.
    Pls. discuss to get the truth.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s