Category Archives: SERAT SASANGKA JATI

SIKAP HIDUP DALAM SERAT SASANGKA JATI


 

SIKAP HIDUP DALAM SERAT SASANGKA JATI DAN RELEVANSINYA

BAGI MASYARAKAT DI ERA MODERN

Oleh: Slamet Rohadi

PENGANTAR

Pandangan hidup jawa kuno sampai sekarang ini masih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat jawa. Hal ini menampakkan diri dalam aliran aliran kebatinan. Salah satu aliran kebatinan yang paling terkenal saat ini adalah Pangestu. Kata Pangestu merupakan singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal, yang berarti “perkumpulan dari mereka yang sedang mencari yang satu”. Yang Satu / Tunggal ditafsirkan secara horizontal / vertikal yaitu mencari kesatuan / solidaritas dengan golongan –golongan lain dalam masyarakat, maupun dengan Tuhan.

Rasa batin diakui sebagi alam kehidupan yang benar – benar penting dalam masyarakat jawa, dinyatkan dalam kecenderungan untuk menyimpan diri sendiri, untuk diri sendiri dan kerasan dengan diri sendiri serta berhati- hati. Mengenal Etika Jawa dapat dinyatakan “apa saja yang baik untuk batin seseorang adalah baik” (tata-krama) terutama mengatur masalah antar manusia.

Disebabkan oleh cita – cita kebudayaan Jawa yang sangat kaya sekali akan petuah bijaksana untuk menjaga agar kehidupan masyarakt teratur, baik dan damai. Penguasaan atas dunia luar mendatangkan ketanangan batin sepeti keadaan tentram dan perasaan pribadi mendalam mengenai kepuasan yang tenang (ayem), untuk dapat menikmati kepuasan itu orang harus belajar menguasai emosi – emosinya sambil mengikuti aliran masyarakat (ngeli), menanamkan ketahanan (sabar), rendah hati (andhep asor), dan kemampuan untuk menerima kemalangan dengan harapan akan mengalami hari esok yang lebih baik ( nrimo). Konsep diatas kiranya perlu dikembangkan dan dikombinasikan dengan konsep sikap hidup dalam serat berikut ini untuk mencapai ketentraman hidup baik secara batiniah maupun lahiriah, di dunia maupun di akhirat. Berpijak dari hal diatas maka pembahasan ini mencoba mencari relevansi sikap hidup jawa dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat jawa di era sekarang.

•  Mengenal Serat Sasangka Jati

Serat tersebut merupakan pelajaran dari sang guru sejati kepada siswanya, terdiri dari tujuh bagian meliputi : Hasta sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Dalan Rahayu, Sangkan Paran, dan Panembah. Dalam perkembanganya Serat tersebut menjadi pegangan utama aliran Pangestu.

Sejarah Pangestu bermula dari wahyu yang diterima oleh R. Soenarto, yang kemudian dituliskan dalam bahasa jawa oleh R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Tri Hardono Soemodiharjo, dan kemudian dihimpun dalam suatu buku yang diberi judul Serat Sasangka Jati yang berarti “tujuan yang sejati”.

Menurut Serat tersebut hakekat manusia terdiri atas tanah, air, api dan udara yang disebut roh suci. Selanjutnya juga dikenal empat nafsu manusia yaitu ; Luwamah, Amarah, Sufiah dan Mutmainah. Selain itu ada terdapat pengendali keempat nafsu diatas yaitu Pangaribawa, Prabawa dan Kemayan.

Inti dari Serat Sasangka Jati terdiri dari dua masalah, yaitu ; pertama tentang Sikap Hidup Orang Jawa, dan kedua, tentang Pandangan Hidup Orang Jawa. Dalam sikap hidup, semua orang harus melaksanakan : Hasta Sila / Delapan Sikap Dasar yang terdiri dari dua pedoman yakni Tri Sila dan Panca Sila. (Budiyono, 1981, 77).

•  Sikap Hidup Orang Jawa

Tri Sila merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia, dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia didalam menyembah Tuhan (Budiyono, 1981,73-74).

•  Eling / Sadar , yaitu sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Menurut Soenarto yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Tunggal adalah kesatuan dari tiga sifat yaitu : Suksma kawekas atau Allah Ta’la, Suksma Sejati atau Rasulullah dan Roh Suci atau jiwa manusia yang sejati, ketiganya disebut Tri Purusa. Dengan selalu sadar terhadap Tuhan maka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang berubah dan yang tidak berubah.

•  Pracaya / Percaya , ialah percaya terhadap Suksma Sejati atau Utusan-Nya, yang disebut Guru Sejati dan berarti pula percaya kepada Jiwa Pribadinya sendiri serta kepada Allah, karena ketiganya adalah Tri Purusa tadi.

•  Mituhu , ialah setia kepada dan selalu melaksanakan segala perintahNya yang disampaikan melalui UtusanNya. Semua kewajiban manusia sebenarnya merupakan kemauan untuk melaksanakan tugas dari UtusanNya, sebab semua tugas baik yang diterima manusia pada hakekatnya adalah Tugas yang diberikan Allah.

Sebelum manusia dapat melaksanakan Tri Sila tersebut, harus berusaha dulu untuk memiliki watak dan tingkah laku yang terpuji yang disebut Panca Sila , yaitu :

•  Rila, merupakan bentuk keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasaanya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada didalam kekuasaan Tuhan dan tidak sepatutnya apabila berharap akan mendapatkan hasil dari perbuatanya, apalagi sampai bersedih hati atau menggerutu terhadap semua penderitaan (kesengsaraan, tuduhan, fitnah, kehilangan pangkat, kekayaan dan keluarga)

•  Narima, banyak pengarunya terhadap ketentraman di hati, jadi bukan orang yang malas bekerja, terapi yang merasa puas dengan nasibnya. Apapun yang sudah terpegang di tanganya, dikerjakan dengan senang hati, tidak loba dan “ngangsa”. Narima berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, maka dari itu orang yang narima dapat dikatakan sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan.

•  Temen, berarti menepati janji / ucapanya sendiri, baik yang sudah diucapkan maupun yang diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri, sedangkan kata hati yang telah diucakan padahal tidak ditepati, itu berarti kebohongan terhadap orang lain.

•  Watak / Sabar, merupakan tingkah laku yang terbaik, yang harus dimiliki oleh setiap orang. Semua agama menceritakan bahwa Tuhan mengasihi kepada orang yang sabar. Sabar itu berarti Momot , kuat terhadap segala cobaan, tetapi bukan berarti puas putus asa, melainkan orang yang kuat imanya, luas pengetahuanya, tidak sempit pandanganya, sehingga pantas untuk diumpamakan sebagai samudera pengetahuan, sahabat dan musuh dianggap sama. diibaratkan dengan samudra yang muat untuk diisi apa saja dan tidak meluap walaupun diisi dari semua sungai dari manapun. Kesabaran diumpamakan sebagai minuman jamu yang pahit sekali rasanya, yang hanya kuat diminum oleh orang yang kuat pribadinya, namun jamu tersebut menyehatkan kesedihan dan penyakit.

•  Budi Luhur yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan watak serta sifat –sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Mulia, seperti kasih dan sayangnya kepada sesamanya, suci, adil dan tidak membeda-bedakan tingkat derajat : besar, kecil, kaya miskin semua dianggap sebagai saudara sendiri, tanpa menghilangkan tata krama dan tata susilanya. Semua hanya dapat dilaksanakan apabila keempat sifat diatas telah dikuasainya.

Kelima dasar bertindak tersebut di atas merupakan sikap hidup yang harus selalu dipegang teguh oleh murid dan guru Pangestu. Dalam kenyataanya, masyarakat jawa pada umumnya banyak yang melaksanakan sikap hidup yang sama seperti diajarkan oleh Pangestu tersebut. Konsep sikap hidup diatas dapat dikatakan telah menjadi pedoman umum dan bahkan merupakan etika sosial atau bahkan menjadi ukuran moral masyarakat jawa.

Sikap hidup orang jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek moyangnya, selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakatnya daripada kepentingan pribadinya, jelas tergambar dalam pedoman –pedoman hidup yang sangat populer seperti : Aja Dumeh dan anjuran untuk menghindari Aji Mumpung.

Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi semua orang jawa yang sedang dikaruniak kebahagiaan hidup oleh Tuhan YME. Aja Dumeh adalah suatu peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Pedoman mawas diri tersebut diantaranya berbunya sebagai berikut :

•  Aja Dumeh Kuwasa, Tumindake daksura lan daksia marang sapada-pada, ( janganlah mentang –mentang sedang berkuasa, segala tindak-tanduknya pongah dan congkak serta sewenang –wenang terhadap sesamanya).

•  Aja dumeh pinter, tumindake keblinger ( janganlah mentang –mentang diakui pintar lalu kebijaksanaanya menyimpang dari aturan yang seharusnya).

•  Aja dumeh kuat lan gagah, tumindake sarwa gegabah (jangan mentang –mentang kuat dan gagah lalu tindakanya serba gegabah ).

•  Aja dumeh sugih, tumindake lali karo sing ringkih ( jangan mentang –mentang kaya lalu tingkah perbuatanya tidak mengingat kepada yang lemah ekonominya).

•  Aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang (jangan mentang-mentang dapat mengalahkan lawan lalu tindakanya sewenang –wenang kepada lawan).

Aji Mumpung (mumpungisme ) adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah kesempatan untuk hidup “diatas”. Orang jawa percaya bahwa hidup di dunia ini diatur olehNya sehingga putaran hidup manusia itu seperti “roda pedati” / “cokro manggilingan ” cakra adalah senjata panah yang ujung panahnya berbentuk roda. Senjata cakra adalah milik Prabu Kresna. Kalau nasib kehidupan manusia sedang berada pada putaran atas atau sedang memperoleh kepercayaan masyarakat untuk mengatur sesuatu, hendaklah selalu diingat untuk mengendalikan diri jangan lalu memanfaatkan kesempatan selagi berkuasa dan mumpung lagi ada kesempatan atau lagi mumpung bisa berbuat seenaknya sendiri sehingga melupakan kewajiban, aturan serta norma –norma yang berlaku dalam masyarakat yaitu (Budiono, 1981, 82).

•  Mumpung kuat lan gagah, njur tanpa arah-arah (memanfaatkan kesempatan selagi kuat dan berkuasa, sehingga tindakanya tanpa pedoman atau gegabah).

•  Mumpung pinter, njur sembrana nerak wewaler (memanfaatkan kesempatan karena merasa pintar sendiri, sehingga tindakanya seenaknya sendiri melanggar aturan dan norma yang berlaku).

•  Mumpung kuwasa sapa sira sapa ingsun (memanfaatkan kesempatan selagi berkuasa, sehingga tidak lagi ingat kepada teman dan saudara).

•  Mumpung sugih, njur nyenyamah karo sing ringkih (memanfaatkan kesempatan karena kaya raya, sehingga bertindak angkara murka terhadap mereka yang melarat.

•  Mumpung menang, njur nyawiyah hake liyan (memanfaatkan kesempatan selagi memperoleh kemenangan, lalu bertindak merampas dan menginjak –injak hak orang).

Selain itu sikap hidup seorang pemimpin Jawa hendaklah bersifat satria dan pinandita. Sehingga dia tidak akan menggantungkan hidupnya kepada semat, derajat, kramat, dan hormat. Tujuan seorang pemimpin adalah rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda (giat bekerja, jauh dari keserakahan dan selalu merasa kaya akan kebijakan dan selalu bisa memberi siapa saja yang minta pertolongan kepadanya.

•  Relevansinya bagi kehidupan masyarakat Jawa di era modern

Pada saat ini pergeseran dalam perkembangan budaya masyarakat jawa nampak dikarenakan arus globalisasi yang merambah segala aspek kehidupan dan juga merambah kepada kehidupan keagamaan masyarakat jawa, nampak gejala Dereligisasi : Pagamisme (kemusyrikan) dan sekulerisasi terhadap nilai-nilai keagamaan.

Fenomena Dereligisasi (pendangkalan nilai keagamaan) ini nampak pada tidak tertariknya masyarakat jawa pada wejangan, fatwa – fatwa / ceramah keagamaan oleh para rohaniawan yang mengajak kepada kebajikan (kehidupan ukhrawi). Memang gejala ini timbul karena perkembangan jaman dan arus modernisasi. Sehingga keadan religiusitas masyarakat jawa menjadi terbalik manusia ngawula kepada manusia dan bukan ngawula kepada Tuhan TME, Kecenderungan untuk menjadi manusia yang diakui dan diterima sebagai masyarakat modern.

Mereka merasa lebih nyaman mengadopsi budaya luar dan tanpa disadari mereka perlahan-lahan telah mengalami dekadensi budaya dan moral. Oleh karena itu perlu pola pendekatan yang dilakukan terutama para generasi muda penerus bangsa yang berpedoman pada sikap hidup jawa dengan mengembalikan keakar budaya yaitu :

•  Kautaman urip manungsa (yaitu menghormati falsafah hidup/ pandangan hidup dan wejangan atau ajaran serta nasehat orang tua).

•  Titah samantah (menempatkan diri untuk menerima apapun keputusan dan kebijakan Tuhan dalam kehidupa).

•  Mumpuni mangku aturing lathi (memberikan penghargaan kepada orang lain dengan tutur kata yang terpuji sesuai madu basa, madu rasa dan madu brata).

Perpaduan sikap hidup yang terdapat dalam Panca Sila dan Tri Sila yaitu sikap sabar, narima, rila dan lain sebagainya akan menghasilkan sikap “sepi ing pamrih rame ing gawe” yang merupakan kombinasi antara kemantapan hati yang tenang, kebebasan dari kekhawatiran dari diri sendiri dan kerelaan untuk membatasi diri pada peran dalam dunia yang telah ditentukan (Franz Magnis Suseno, 1984, 141).

Keberadaan dari beberapa pedoman dan peraturan tatanan hidup ini dalam lingkungan jawa adalah untuk suatu proses perkembangan dari “ kematangan” yaitu semacam kedewasaan mental – spiritual bukan dalam hal fisik atau jasmani. Sehingga dalam hal kesalahan bertindak dari seseorang bukan dianggap sebagai kehendak buruk melainkan kurangnya pengertian akan tatanan yang ada (durung Njawa) atau belum matang / dewasa pribadinya.

Sikap hidup diatas apabila dihayati dan diamalkan dalam kehidupan tentu akan menghasilkan suatu sikap yang mulia dan luhur. Dalam rangka program Yogyakarta sebagai Taman Sarinya Jawa dan Jawa sebagai Taman Sarinya Indonesia peran masyarakat terutama generasi muda diharakan mau meresapi, dan mempelajari dan mengamalkan ajaran dari konsep sikap hidup dan pandangan hidup jawa diatas. Disamping itu dapat juga dijadikan pedoman hidup yakni menjadi pelestari dan pengembali budaya jawa agar tidak punah (orang jawa ilang jawane) serta dapat langgeng bahkan berjaya dari masa ke masa.

Disamping itu mengajarkan manusia tentang budi pekerti yang dapat dijadikan bekal dalam pembentukan watak serta kepribadian manusia yang dimulai dari pengenalan pada diri masing –masing, memperdalam ketakutan kita kepada Allah Yang Maha Esa, dapat menjadi pedoman dalam menjaga keselarasan diri dengan alam pembangunan yang sedang dilaksanakan dan manusia akan menjadi sadar diri, eling dan waspada sehingga bermanfaat bagi diri –sendiri, sesama manusia, alam sekitarnya.

KESIMPULAN

Pandangan Hidup dan Sikap Hidup orang jawa adalah menuju pada keselarasan dengan dunianya, Tuhanya, alam dan juga dengan dirinya sendiri. Hal ini diwujudkan dalam susila / etikanya dengan Tuhan atau agamanya yang terwujud dalam tingkat ketaqwaanya, kedekatan dengan kesadaran dengan dirinya, hal ini diwujudkan dalam sikap batinya yang selalu eling lan waspada, terhadap segala tindakanya. Kehidupan di dunia terutama dalam kehidupan bermasyarakat sudah diciptakan dan tertulis dalam macam-macam peraturan seperti Etiket Jawa (tata krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, adapt, kaidah moral yang seperti terdapat dalam Serat Sasangka Jati demi terciptanya keseimbangan lahir batin, tradisi dan modernisasi

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, 1981, Simbolisme Dalam Budaya Jawa , Kanisius, Yogyakarta

De,Jong, 1975, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa , Kanisius, Yogyakarta

Mulder, Nies, 1996, Pribadi dan Mayarakat Jawa , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

——————, 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional , Gama Press, Yogyakarta

Mujiono, 1990, Skripsi : konsep Serat Sasangka Jati Tentang Sangkan Paraning Dumadi , Filsafat, UGM

Supadjar, Damarjati, 2001, Nawang Sari , Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta

Suseno, franz, magnis, 1984, 1984, Etika Jawa , Gramedia, Jakarta

Majalah “Basis ”, edisi januari 1975 –XXIV-4, yogyakarta

Majalah “ Manggala Naya Wiwarottama ”, edisi februari 2004, Polda DIY